Geser kebawah untuk baca artikel
EkonomiHeadline

Tarif Tinggi AS Hantam Ekspor, Hilirisasi Jadi Solusi Darurat

×

Tarif Tinggi AS Hantam Ekspor, Hilirisasi Jadi Solusi Darurat

Sebarkan artikel ini
Tarif Tinggi AS Hantam Ekspor, Hilirisasi Jadi Solusi Darurat
Pemerintah didesak percepat diversifikasi pasar dan hilirisasi ekspor usai AS kenakan tarif resiprokal hingga 32% pada produk Indonesia.

Pemerintah Pacu Hilirisasi dan Perjanjian Dagang Strategis

JAKARTA, NusantaraOfficial.com – Pemerintah Indonesia terus memacu hilirisasi industri sebagai senjata utama untuk mempertahankan daya saing ekspor.

Di tengah tekanan tarif tambahan dari Amerika Serikat (AS), hilirisasi menjadi pendorong nilai tambah yang diharapkan mampu menjaga volume perdagangan tetap stabil, terutama untuk produk sumber daya alam seperti nikel, tembaga, dan batu bara.

Sponsor
Sponsor

Di sisi lain, diplomasi perdagangan juga diperkuat melalui penyempurnaan dan perluasan perjanjian dagang strategis. Indonesia tengah mengakselerasi implementasi dan pembaruan skema kerja sama seperti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), IA-CEPA dengan Australia, serta IJEPA dengan Jepang.

Protokol terbaru IJEPA, misalnya, dinilai mampu membuka peluang akses pasar lebih luas ke Jepang, terutama untuk produk pertanian, perikanan, serta hasil manufaktur ringan. Langkah ini juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang Indonesia untuk mengurangi konsentrasi ekspor ke pasar tunggal seperti AS dan China.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, menyebut bahwa target ekspor Indonesia sebesar US$ 294,45 miliar pada 2025 masih tetap dijaga.

Meskipun dibayangi ancaman perlambatan global, pemerintah belum mengubah proyeksi pertumbuhan ekspor nasional sebesar 7,1% secara tahunan.

Dampak Tarif Resiprokal ke Industri Padat Karya

Sektor padat karya menjadi salah satu yang paling rentan terhadap perubahan kebijakan tarif. Ekspor alas kaki, pakaian jadi, serta furnitur yang selama ini mendominasi pasar AS berisiko besar mengalami kontraksi produksi jika tarif 32% diterapkan penuh.

Data menunjukkan bahwa lebih dari 50% ekspor alas kaki dan pakaian Indonesia dikirim ke AS. Dengan tambahan tarif, margin keuntungan eksportir bisa tergerus, bahkan berpotensi mengganggu operasional usaha kecil dan menengah (UKM) di sektor tersebut.

Situasi ini juga dapat berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja, mengingat padat karyanya sektor ini dalam struktur manufaktur nasional.

Senior Economist Bank DBS, Radhika Rao, mencatat bahwa penerapan tarif resiprokal penuh dari AS dapat memangkas Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 0,5%. Dampak lanjutan dari pelemahan ekspor akan terasa pada tingkat investasi, produksi, hingga aktivitas logistik yang mengalami perlambatan.

Konsumsi Domestik Jadi Andalan Stabilitas

Dalam situasi global yang tidak pasti, konsumsi rumah tangga masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sepanjang 2024, konsumsi domestik menyumbang lebih dari 54% terhadap PDB nasional.

Para ekonom sepakat bahwa pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat melalui pengendalian inflasi, subsidi terarah, serta insentif fiskal untuk segmen pendapatan rendah. Dengan demikian, jika sektor ekspor tertekan, konsumsi domestik bisa menjadi bantalan ekonomi yang kuat untuk mencegah perlambatan yang lebih dalam.

Dalam laporan OCBC Sekuritas dan Maybank Sekuritas, konsumsi domestik diprediksi masih tumbuh positif meski investasi dan ekspor cenderung stagnan. Namun, kepercayaan pelaku pasar dan stabilitas nilai tukar juga menjadi faktor kunci agar sentimen investasi tetap terjaga.

Neraca Dagang Masih Surplus, Tapi Risiko Meningkat

Sampai kuartal I 2025, neraca perdagangan Indonesia masih mencatat surplus sebesar US$ 10,9 miliar. Surplus ini terutama disumbang dari perdagangan nonmigas dengan Amerika Serikat, India, dan Filipina.

Meskipun demikian, tekanan tarif yang tinggi dari AS dan melambatnya permintaan global dikhawatirkan bisa memperkecil margin surplus tersebut.

Kepala BPS Amalia Adininggar menyatakan bahwa surplus dagang selama 59 bulan berturut-turut merupakan capaian penting. Namun, ia mengingatkan bahwa ketidakpastian global dan fragmentasi geopolitik seperti perang dagang AS-China tetap menjadi ancaman nyata bagi ketahanan ekspor nasional.

Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi signifikan, pemerintah harus bersiap mengantisipasi penurunan daya saing produk, penurunan order ekspor, dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Stimulus dan Reformasi Struktural Dipercepat

Untuk menjaga momentum pertumbuhan, pemerintah juga menyiapkan berbagai stimulus tambahan. Di antaranya, percepatan insentif pajak untuk pelaku ekspor berbasis industri hijau dan penguatan akses pembiayaan UMKM melalui KUR ekspor.

Selain itu, reformasi struktural melalui penyederhanaan regulasi logistik, integrasi sistem pelabuhan, serta digitalisasi prosedur ekspor-impor terus didorong agar memperbaiki efisiensi biaya perdagangan.

Langkah tersebut diharapkan mampu meredam tekanan global dan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional yang semakin kompetitif.

Strategi Adaptif Hadapi Volatilitas Global

JAKARTA, BursaNusantara.com – Menghadapi tekanan global yang semakin kompleks, pemerintah dinilai perlu memperkuat ketahanan ekonomi nasional melalui strategi adaptif.

Hal ini termasuk penyesuaian kebijakan ekspor, peningkatan kolaborasi antar-lembaga, serta penguatan posisi tawar Indonesia dalam forum perdagangan internasional seperti WTO, ASEAN, dan G20.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menekankan pentingnya kejelasan arah kebijakan untuk mengurangi ambiguitas pasar.

Menurutnya, arah fiskal dan moneter harus sejalan dengan tujuan stabilisasi makro. “Koordinasi antarsektor harus lebih solid. Jangan sampai stimulus fiskal dibayangi oleh kebijakan moneter yang terlalu ketat,” katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh peneliti CSIS, Riandy Laksono. Ia menyebut Indonesia harus mengambil pelajaran dari siklus perlambatan global terdahulu. “Yang penting adalah antisipasi. Jangan reaktif. Jika tekanan dagang terus membesar, kita harus sudah siap dengan skenario mitigasi,” ujarnya.

Penguatan Industri Dalam Negeri dan Insentif Eksportir

Di tengah fluktuasi eksternal, penguatan basis industri nasional menjadi prioritas. Pemerintah tengah mengkaji skema insentif bagi eksportir yang mampu meningkatkan nilai tambah produk, terutama di sektor hilir mineral dan manufaktur.

Kementerian Perindustrian mencatat sejumlah program seperti fasilitas super tax deduction, insentif untuk industri berbasis ekspor, serta kemudahan izin ekspor untuk sektor strategis tengah disiapkan.

Fokus diarahkan pada industri yang memiliki potensi substitusi impor tinggi dan kontribusi ekspor besar, seperti otomotif, elektronik, makanan olahan, dan farmasi.

Selain itu, penguatan ekosistem logistik nasional juga tak kalah penting. Integrasi pelabuhan, efisiensi biaya pengapalan, dan digitalisasi sistem ekspor menjadi tiga pilar yang saat ini tengah didorong oleh Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Logistik Nasional.

Tantangan Tarif Masih Bayangi

Kebijakan tarif resiprokal dari AS tetap menjadi batu sandungan utama. Meski saat ini dalam masa penundaan 90 hari, banyak pihak pesimistis bahwa tarif tersebut akan dibatalkan sepenuhnya. Hal ini membuat ekspektasi pelaku pasar cenderung berhati-hati dan wait-and-see terhadap pengiriman barang ke AS.

Dampaknya, beberapa eksportir tekstil dan alas kaki mulai mengalihkan target pengiriman ke Timur Tengah dan Amerika Latin. Namun, tantangan infrastruktur dan standar pasar yang berbeda membuat penetrasi pasar baru tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Ketika pasar utama terguncang, transisi ke pasar alternatif butuh waktu dan biaya. Pemerintah harus hadir memberikan panduan serta fasilitas konkret bagi eksportir,” kata Radhika Rao dari DBS Group.

Indonesia Didorong Perkuat Posisi di Rantai Pasok Global

Selain memperluas pasar ekspor, Indonesia juga didorong memperkuat posisinya dalam rantai pasok global. Dalam laporan OECD, disebutkan bahwa ketahanan rantai pasok global ke depan akan ditentukan oleh negara-negara yang mampu memastikan keberlanjutan bahan baku, efisiensi logistik, serta kepastian regulasi.

Indonesia sebagai pemasok nikel dan komoditas tambang strategis lain, memiliki peluang besar untuk naik kelas dari sekadar pemasok bahan mentah menjadi produsen komponen bernilai tinggi seperti baterai EV dan semikonduktor.

Namun, untuk mewujudkannya dibutuhkan kebijakan konsisten, investasi riset dan pengembangan (R&D), serta sinergi antara industri, pemerintah, dan akademisi. Dengan begitu, ekspor Indonesia tidak hanya bertumpu pada kuantitas, tetapi juga kualitas dan nilai tambah produk.

Ikuti media sosial kami untuk update terbaru