Geser kebawah untuk baca artikel
EkonomiHeadline

Tarif Resiprokal AS Ancam Ekspor Pakaian dan Furnitur RI

×

Tarif Resiprokal AS Ancam Ekspor Pakaian dan Furnitur RI

Sebarkan artikel ini
Tarif Resiprokal AS Ancam Ekspor Pakaian dan Furnitur RI
Kebijakan tarif 32% dari AS terhadap produk Indonesia dinilai berisiko tinggi, mengancam industri padat karya seperti pakaian, furnitur, dan aksesoris.

JAKARTA, NusantaraOfficial.com – Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) sebesar 32% terhadap produk-produk asal Indonesia mengancam stabilitas sektor ekspor nasional, terutama industri padat karya seperti pakaian, aksesoris, serta furnitur dan perabotan rumah tangga. Langkah ini berpotensi mengguncang struktur tenaga kerja dan kinerja perdagangan luar negeri Indonesia.

Industri Padat Karya Jadi Korban Utama

Direktur Eksekutif NEXT Indonesia, Christiantoko, menegaskan bahwa keputusan AS tersebut menciptakan risiko besar bagi ekonomi Indonesia, khususnya bagi sektor yang bergantung pada tenaga kerja besar. Dalam siaran pers yang dirilis Jumat (4/4), ia menyebut tiga komoditas paling terdampak adalah pakaian dan aksesorinya – rajutan (HS 61), pakaian bukan rajutan (HS 62), serta mebel dan furnitur (HS 94).

Sponsor
Sponsor

Nilai Ekspor yang Terancam

Menurut data riset dari NEXT Indonesia, nilai ekspor tiga komoditas ini ke AS pada 2024 mencapai US$6 miliar, dengan total akumulasi selama periode 2020–2024 mencapai US$30,4 miliar. Dalam rentang tersebut, lebih dari separuh volume ekspor masing-masing komoditas ditujukan untuk pasar Amerika.

Baca Juga: Pemerintah Percepat Deregulasi untuk Dorong Industri Padat Karya

  • Pakaian rajutan: US$12,2 miliar atau 60,5% dari total ekspor
  • Pakaian bukan rajutan: US$10,7 miliar atau 50,5%
  • Furnitur dan mebel: US$7,5 miliar atau 58,2%

“Jika pengiriman ke Amerika terganggu akibat tarif tinggi ini, maka industri padat karya bisa lumpuh. Produk-produk tersebut mayoritas diserap oleh pasar Amerika,” ujar Christiantoko.

Christiantoko juga menyoroti bahwa industri-industri ini merupakan bagian penting dari sektor manufaktur berorientasi ekspor yang menopang PDB dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Ketergantungan terhadap satu pasar utama seperti AS membuat sektor ini sangat rentan terhadap gejolak kebijakan perdagangan.

Ancaman Terhadap Lapangan Kerja

Imbas dari tekanan ini juga akan merambat ke aspek sosial-ekonomi, terutama ancaman terhadap lapangan pekerjaan di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang diketahui menyerap lebih dari 3 juta pekerja di Indonesia. Industri TPT merupakan salah satu tulang punggung ekonomi daerah, khususnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian Sumatera.

Baca Juga: Pemerintah Siapkan Langkah Strategis Hadapi Tarif Resiprokal AS

“Ini bukan sekadar isu perdagangan, tapi juga menyangkut keberlangsungan hidup jutaan pekerja. Pemerintah harus segera menyikapi, apalagi isu PHK kini semakin ramai,” tambahnya.

Tak Hanya Pakaian dan Furnitur

Selain ketiga komoditas utama tersebut, produk olahan dari daging, ikan, krustasea, dan moluska juga berisiko. Dalam lima tahun terakhir, AS menyerap produk ini senilai US$4,3 miliar atau 60,2% dari total ekspor Indonesia di sektor itu.

Christiantoko juga menyebut komoditas mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) menjadi salah satu ekspor terbesar ke AS, mencapai US$4,2 miliar pada 2024 atau US$14,7 miliar dalam lima tahun terakhir. Namun, proporsi ekspor ke AS dari komoditas ini hanya 22,6% dari total ekspor global, sehingga dampaknya tidak sebesar empat komoditas utama lainnya.

Baca Juga: Prabowo Angkat 31 Dubes RI, Perkuat Diplomasi Global

Diplomasi Jadi Solusi Mendesak

Menanggapi situasi ini, Christiantoko menekankan pentingnya langkah diplomasi yang cepat dan strategis. Ia mendesak agar pemerintah, khususnya melalui Kedutaan Besar Indonesia di AS, segera melakukan upaya negosiasi agar kebijakan tarif timbal balik ini bisa ditunda atau dibatalkan sebelum jatuh tempo.

“Jangan sampai kita terlambat. Diplomasi harus segera digerakkan,” tegasnya.

AS Tetap Jadi Mitra Utama Ekspor

Perlu diketahui, AS merupakan pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia setelah Cina. Selama periode 1998–2024, Indonesia selalu mencatat surplus perdagangan dengan AS selama 27 tahun berturut-turut. Artinya, setiap kebijakan dari Negeri Paman Sam akan berdampak langsung terhadap neraca perdagangan nasional.

Baca Juga: Dubes Afrika Selatan Kena Usir AS, Dinilai Anti-Trump dan Rasis

Jika tidak segera ditangani, efek domino dari kebijakan tarif ini bisa memicu perlambatan ekspor, pemangkasan tenaga kerja, hingga penurunan daya saing produk Indonesia di pasar global. Kesiapan Indonesia untuk merespons tantangan ini akan menentukan arah keberlanjutan industri dan ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi dinamika geopolitik internasional.

Ikuti media sosial kami untuk update terbaru