JAKARTA, bursanusantara.com – Kasus serangan buaya terhadap manusia di Indonesia terus meningkat, terutama di Bangka Belitung. Para ahli menyebut aktivitas tambang timah ilegal sebagai salah satu pemicu utama konflik ini.
Serangan Buaya Semakin Sering Terjadi
Lahmudin, seorang mantan petani lada yang beralih menjadi penambang timah ilegal, adalah salah satu korban serangan buaya di Bangka. Pada tahun 2013, ia diserang seekor buaya saat pulang menambang menggunakan sampan kayu di dekat muara.
“Pertama dia menyerang saya di sini,” ujar Lahmudin, menunjukkan paha kanannya. “Saya melawan balik, tapi dia menyerang paha kiri saya. Sakit sekali. Darah mengucur dari kedua paha saya.”
Serangan ini membuatnya lumpuh selama sebulan, tetapi ia masih beruntung bisa selamat. Kasus seperti Lahmudin bukanlah hal yang langka di Indonesia. Menurut data Crocodile Foundation, lebih dari 1.000 serangan buaya terjadi dalam sepuluh tahun terakhir, menewaskan 486 orang.
Bangka Belitung menjadi salah satu daerah dengan tingkat serangan buaya tertinggi, bersama dengan Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Timur. Data dari Alobi Foundation menunjukkan lebih dari 60 orang tewas akibat serangan buaya di Bangka sejak 2016, dengan lonjakan signifikan dalam enam tahun terakhir.
Penyebab Meningkatnya Konflik Buaya dan Manusia
Kerusakan Habitat Akibat Tambang Timah Ilegal
Para pakar menyebut perusakan habitat buaya sebagai pemicu utama meningkatnya serangan. Pulau Bangka kaya akan timah, bahan penting dalam industri elektronik. Indonesia sendiri merupakan produsen timah terbesar ketiga dunia setelah China dan Myanmar, dengan Bangka menyumbang 90% produksi nasional.
Selama bertahun-tahun, penambangan dilakukan oleh PT Timah, perusahaan milik negara. Namun, dalam lebih dari satu dekade terakhir, tambang ilegal merajalela. Para penambang kecil sering menambang di daerah yang tidak semestinya, seperti kawasan hutan lindung atau konsesi perusahaan yang sedang dalam tahap reklamasi.
“Tambang ilegal ada di mana-mana – di belakang sekolah, dekat gedung perkantoran. Ini menyebabkan habitat buaya terganggu,” kata Langka Sani, pendiri Alobi Foundation.

Buaya muara (Crocodylus porosus) hidup di sekitar muara sungai dan sangat sensitif terhadap suara. Aktivitas tambang ilegal yang berisik dapat membuat mereka stres, sehingga memicu konflik dengan manusia.
“Buaya bisa menyerang sebagai bentuk perlawanan, bukan hanya untuk berburu makanan,” tambah Langka.
Perubahan Ekosistem Sungai
Penambangan timah tidak hanya menghancurkan habitat, tetapi juga mengubah ekosistem sungai. Sedimentasi yang dihasilkan tambang mengurangi aliran sungai, merusak terumbu karang, dan menghambat pertumbuhan ikan serta udang—sumber makanan utama buaya.
Ketika pasokan makanan berkurang, buaya terpaksa mencari alternatif lain, termasuk menyerang manusia. Selain itu, habitat yang semakin sempit memicu perkelahian antarbuaya, yang menyebabkan sebagian dari mereka terdorong ke daerah perkotaan.
Langkah-Langkah Penanganan Konflik
Konservasi dan Penyelamatan Buaya
Setiap kali terjadi serangan, masyarakat cenderung menangkap atau membunuh buaya yang dianggap sebagai pelaku. Namun, Endi Yusuf, manajer penyelamatan di Alobi, menyayangkan tindakan ini.
“Buaya adalah spesies yang dilindungi oleh hukum. Mereka tidak boleh diburu atau dibunuh, meskipun konflik tinggi di Bangka,” kata Endi.
Saat ini, Alobi Foundation menampung 18 ekor buaya di pusat konservasi mereka, yang berkapasitas maksimal 30 ekor. Namun, keterbatasan fasilitas menjadi tantangan besar dalam upaya penyelamatan.
Upaya Pemerintah dan Edukasi Masyarakat
Pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) telah melakukan berbagai langkah mitigasi, termasuk mengedukasi masyarakat di sekitar sungai agar lebih waspada.
“Kami terus memberikan informasi kepada warga agar mereka bisa menghindari daerah berisiko tinggi. Kami juga bekerja sama dengan SAR dan Alobi untuk menangkap buaya yang masuk ke pemukiman,” ujar Dedi Susanto, kepala unit konservasi BKSDA.
Selain itu, para aktivis konservasi berharap pemerintah dapat memberikan dana tambahan untuk membangun fasilitas konservasi yang lebih besar.
Apa Solusi Jangka Panjangnya?
Para ahli sepakat bahwa solusi terbaik untuk mengurangi konflik manusia dan buaya adalah dengan menghentikan tambang timah ilegal serta merehabilitasi habitat yang telah rusak. Jika aktivitas ilegal ini terus dibiarkan, maka jumlah serangan buaya kemungkinan akan terus meningkat, mengancam nyawa manusia dan keberlangsungan spesies buaya muara sendiri.
Selain itu, perlu ada peningkatan pengawasan di kawasan habitat buaya. Pemerintah bersama aparat penegak hukum harus lebih tegas dalam memberantas aktivitas tambang ilegal.
Restorasi lahan bekas tambang juga menjadi kunci penting. Saat ini, berbagai penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi ekosistem sungai dan hutan mangrove dapat membantu mengembalikan keseimbangan lingkungan, sehingga buaya memiliki habitat yang cukup tanpa harus masuk ke pemukiman warga.
Masyarakat juga harus lebih terlibat dalam upaya mitigasi konflik ini. Program edukasi dan pelatihan untuk mengenali tanda-tanda kehadiran buaya serta cara menghindari serangan perlu lebih masif dilakukan. Dengan demikian, kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup berdampingan dengan satwa liar dapat meningkat, sehingga konflik dapat diminimalkan.
Keberlanjutan hidup buaya muara dan keselamatan manusia harus menjadi prioritas bersama. Jika tidak ada tindakan nyata, ekosistem akan semakin terganggu, dan konflik buaya serta manusia di Bangka akan terus berlanjut tanpa solusi yang jelas.
Ikuti media sosial kami untuk update terbaru