NEW YORK, NusantaraOfficial.com – Ketidakpastian ekonomi global kembali mengemuka setelah jajak pendapat terbaru dari Reuters mengungkapkan bahwa mayoritas ekonom dunia kini menilai risiko resesi pada 2025 semakin tinggi.
Penyebab utamanya dikaitkan langsung dengan kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang dinilai mengacaukan stabilitas perdagangan internasional dan memudarkan sentimen bisnis secara luas.
Dalam jajak pendapat terhadap lebih dari 300 ekonom dari 50 negara yang dilakukan sepanjang April, terungkap bahwa tidak satu pun responden melihat dampak positif dari kebijakan tarif tersebut.
Sebanyak 92% responden menyebutkan bahwa kebijakan itu membawa dampak negatif terhadap iklim usaha dan perdagangan global, sedangkan 8% lainnya bersikap netral—terutama berasal dari negara berkembang seperti India.
Tarif Global Timbulkan Efek Domino ke Pasar Dunia
Trump sebelumnya sempat menangguhkan tarif terbesar terhadap sebagian mitra dagang, namun tarif umum 10% masih tetap diberlakukan, termasuk bea masuk hingga 145% terhadap barang asal Tiongkok.
Langkah ini menciptakan gelombang kejut ke pasar finansial global dan menyebabkan penghapusan nilai triliunan dolar dari kapitalisasi pasar saham dunia.
Ketidakpastian tersebut memperburuk prospek ekonomi di sejumlah negara maju dan berkembang. Banyak perusahaan global memutuskan untuk merevisi atau bahkan menarik estimasi pendapatan mereka, memperlihatkan sikap hati-hati dalam menghadapi arah kebijakan AS yang dianggap tak bisa diprediksi.
Revisi Pertumbuhan: AS Terpukul, Asia Lebih Stabil
Tiga perempat ekonom yang disurvei memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 dari 3,0% menjadi 2,7%, selaras dengan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang kini memperkirakan 2,8%.
Revisi ini menunjukkan tren penurunan yang konsisten sejak kebijakan tarif mulai diberlakukan.
Amerika Serikat sendiri diproyeksi tumbuh lebih lambat dibanding Tiongkok dan Rusia, yang masing-masing diperkirakan tumbuh 4,5% dan 1,7%.
Kanada dan Meksiko mengalami pemangkasan signifikan, dengan proyeksi turun menjadi 1,2% dan 0,2%. Sebaliknya, beberapa negara seperti Argentina dan Spanyol sedikit menaikkan ekspektasi mereka berkat dinamika domestik.
Resiko Resesi dan Stagflasi Membayangi Dunia
Ketika ditanya tentang potensi resesi global tahun ini, sebanyak 60% dari 167 responden menjawab bahwa risiko tersebut tinggi atau sangat tinggi. Sementara itu, hanya 4 responden yang menganggap risiko sangat rendah.
Timothy Graf, kepala strategi makro untuk Eropa, Timur Tengah, dan Afrika di State Street, menyebut situasi ini “sulit untuk dihadapi dengan optimisme.” Menurutnya, sekalipun tarif dihapus saat ini, kerusakan sudah terjadi karena AS dianggap semakin tidak dapat dipercaya dalam perjanjian internasional, mulai dari perdagangan hingga aliansi pertahanan.
Kekhawatiran lainnya adalah potensi stagflasi situasi ekonomi di mana pertumbuhan melambat namun inflasi tinggi. Para ekonom memandang tarif sebagai kebijakan inflasioner yang dapat meningkatkan harga barang secara drastis dan menurunkan pendapatan riil masyarakat.
Survei terhadap 29 bank sentral besar menunjukkan bahwa 19 di antaranya diperkirakan gagal mencapai target inflasi tahun ini. Untuk tahun depan, jumlahnya hanya sedikit lebih baik, dengan 15 bank sentral diprediksi tetap tidak akan memenuhi target.
Peta risiko global tahun ini tampak semakin kompleks. Ketika kepercayaan terhadap pasar AS melemah, dunia menghadapi kebutuhan mendesak untuk mencari pijakan baru di tengah pusaran kebijakan ekonomi yang tak menentu.
Ikuti media sosial kami untuk update terbaru