HeadlineNasional

Revisi UU Polri Dinilai Bahayakan Demokrasi dan Hak Sipil

Revisi UU Polri Dinilai Bahayakan Demokrasi dan Hak Sipil
RUU Polri dinilai berbahaya karena perluas kewenangan tanpa pengawasan tegas, berpotensi langgar HAM dan prinsip negara demokrasi.

JAKARTA, NusantaraOfficial.com – Wacana revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tengah menuai sorotan tajam dari publik.

Meski disebut-sebut akan segera dibahas, rancangan undang-undang ini memantik gelombang penolakan luas, khususnya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang menilai RUU tersebut berpotensi menjadikan Polri sebagai institusi “superbody” dengan kewenangan tak terbatas.

Sponsor
Sponsor

Penambahan Kewenangan Tanpa Pengawasan Ketat

Dalam siaran pers yang dirilis pada Sabtu (5/4), Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa perluasan kewenangan yang dimuat dalam RUU Polri tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan transparan.

Baca Juga: Puan Maharani Tegaskan Pengamanan Rapat RUU TNI Demi Ketertiban

Hal ini dinilai sangat berisiko, mengingat Polri adalah institusi penegak hukum yang seharusnya tunduk pada kontrol publik dan prinsip akuntabilitas.

RUU Polri memuat berbagai ketentuan yang bahkan melampaui tugas utama Kepolisian sebagaimana diatur dalam konstitusi. Alih-alih memperkuat perlindungan terhadap hak-hak sipil dan membenahi mekanisme pengawasan internal, draf undang-undang justru membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.

Minimnya Agenda Reformasi dan Perlindungan HAM

Koalisi juga menilai bahwa RUU Polri gagal mengakomodasi agenda reformasi kelembagaan dan penguatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca Juga: Yoon Suk Yeol Dimakzulkan: Korea Selatan Hadapi Pemilu Baru

RUU ini disebut tidak berpihak pada kepentingan masyarakat sipil, serta mengabaikan kebutuhan akan mekanisme pengawasan yang independen terhadap anggota Polri yang menyalahgunakan kewenangan.

Lebih parah lagi, ketentuan-ketentuan dalam RUU tersebut dikhawatirkan dapat menjadikan Polri sebagai alat kekuasaan negara untuk menekan kebebasan masyarakat. Dalam konteks politik, posisi ini dinilai rawan disalahgunakan sebagai instrumen represi dan kontrol yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi.

Pasal-Pasal Kontroversial dalam RUU Polri

Setidaknya terdapat lima pasal dalam RUU Polri yang menjadi sorotan tajam karena dianggap bermasalah secara substansi dan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi serta HAM:

Baca Juga: Tak Semua ASN Dapat THR 2025, Ini Daftar yang Tidak Berhak

1. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q)

Memberikan kewenangan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber. Ketentuan ini dinilai mengancam kebebasan berekspresi dan hak atas privasi warga negara di ruang digital dan media sosial.

2. Pasal 16B

Mengatur perluasan kewenangan Intelkam Polri untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu atas nama kepentingan nasional. Koalisi menganggap pasal ini sangat rentan disalahgunakan sebagai alat politik.

3. Pasal 14 Ayat (1) Huruf (o)

Memberikan kewenangan penyadapan kepada Polri. Masalah muncul karena Indonesia belum memiliki payung hukum yang komprehensif soal penyadapan, sehingga ketentuan ini berpotensi menciptakan praktik penyadapan yang sewenang-wenang tanpa mekanisme pengawasan.

Baca Juga: Revisi UU TNI Dipastikan Tak Langgar Semangat Reformasi

4. Pasal 14 Ayat (1) Huruf (g)

Memungkinkan Polri untuk mengawasi dan membina secara teknis penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan penyidik lainnya. Pasal ini dinilai menjadikan Polri sebagai satu-satunya superbody investigator dan menimbulkan dominasi kelembagaan yang tidak sehat.

5. Pasal 14 Ayat (1) Huruf (e)

Mengatur partisipasi Polri dalam pembinaan hukum nasional, yang dianggap tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Ketidakjelasan peran ini dapat menimbulkan konflik kewenangan antar lembaga negara.

Ancaman Kebangkitan Dwi Fungsi dalam Institusi Sipil

Lebih lanjut, Koalisi juga memperingatkan bahwa RUU Polri berpotensi memfasilitasi kebangkitan konsep dwi fungsi militer di era Orde Baru dalam tubuh kepolisian.

Kondisi ini jelas menyimpang dari cita-cita reformasi dan prinsip negara hukum modern yang menjunjung tinggi supremasi sipil di atas institusi keamanan.

RUU Polri dinilai akan memberi celah bagi institusi ini untuk masuk terlalu jauh dalam ranah politik dan kekuasaan, sehingga dapat menjadi alat kekuatan yang menciptakan ketakutan, bukan perlindungan. Bila disahkan tanpa revisi signifikan, regulasi ini bisa menjadi ancaman besar terhadap demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Baca Juga: Megawati Tawarkan Kerja Sama Politik ke Prabowo

Kondisi ini menjadi ironi dalam konteks reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak 1998. Alih-alih memperkuat kontrol sipil atas aparat penegak hukum, RUU Polri justru memusatkan kekuasaan lebih besar di tangan institusi kepolisian, tanpa mekanisme checks and balances yang memadai.

Koalisi mendesak DPR RI dan pemerintah untuk meninjau ulang RUU ini secara menyeluruh dengan melibatkan partisipasi publik yang luas, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan kelompok masyarakat sipil, guna memastikan bahwa setiap pasal yang disusun benar-benar mencerminkan semangat reformasi, penghormatan terhadap HAM, serta akuntabilitas kekuasaan.

RUU Polri bukan sekadar revisi teknis, melainkan penentu arah masa depan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.

Ikuti media sosial kami untuk update terbaru

Exit mobile version