Geser kebawah untuk baca artikel
Ekonomi

QRIS Ditekan AS, BI Tegas Jaga Kepentingan Nasional

×

QRIS Ditekan AS, BI Tegas Jaga Kepentingan Nasional

Sebarkan artikel ini
QRIS Ditekan AS, BI Tegas Jaga Kepentingan Nasional
Meski dipersoalkan AS, BI tetap kembangkan QRIS sebagai infrastruktur pembayaran inklusif dan lintas negara yang selaras dengan standar global.

JAKARTA, BursaNusantara.com – Bank Indonesia (BI) menegaskan komitmennya dalam mengembangkan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) meski menghadapi tekanan dari Amerika Serikat (AS).

Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya mendorong inklusi keuangan dan memperkuat sistem pembayaran nasional yang efisien, aman, serta selaras dengan standar global.

Sponsor
Sponsor

Dalam laporan tahunan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) bertajuk National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, AS menyoroti sejumlah regulasi BI, termasuk penggunaan QRIS yang dinilai membatasi keterlibatan pelaku industri asing dalam sistem pembayaran domestik.

BI Perluas Layanan QRIS Lintas Negara

Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta menjelaskan, QRIS telah mengalami pertumbuhan masif sejak diluncurkan pada 2019. Hingga Maret 2025, jumlah pengguna mencapai 56,3 juta, dengan volume transaksi 2,6 miliar dan nominal transaksi Rp 262,1 triliun. Sebanyak 38,1 juta merchant telah mengadopsi QRIS, mayoritas berasal dari sektor UMKM.

“QRIS telah menjadi game changer. Ini bukan hanya alat transaksi, tetapi instrumen transformasi ekonomi rakyat. Kami terus memperluas penggunaannya, termasuk ke layanan cross border,” ujar Filianingsih, Rabu (23/4/2025).

Saat ini, QRIS telah terhubung dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand, serta dalam proses ekspansi ke Jepang, Korea Selatan, India, Arab Saudi, dan Tiongkok.

AS Kritik Transparansi Regulasi Pembayaran

Dalam dokumen USTR, AS menilai bahwa perusahaan-perusahaan keuangan asal AS tidak mendapat cukup kesempatan untuk memberikan masukan terhadap peraturan BI tentang QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Selain itu, pembatasan kepemilikan asing dan keharusan bermitra dengan penyedia switching lokal juga disoroti.

Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa seluruh regulasi telah disusun bersama industri dan sesuai dengan standar global seperti EMVCo (Europay, Mastercard, Visa). Perry menilai, tuduhan USTR tidak berdasar dan tidak mencerminkan realitas implementasi di lapangan.

“QRIS adalah adopsi dari standar global yang diadaptasi sesuai kepentingan nasional. Ini sudah kita kembangkan bersama pelaku industri sejak awal,” tegas Perry.

Komitmen Inklusif, Tapi Tetap Selektif

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyampaikan bahwa Indonesia terbuka untuk bekerja sama dengan negara mana pun, termasuk AS, dalam pengembangan sistem pembayaran. Namun, kerja sama hanya akan dilakukan jika kesiapan teknis dan regulasi dari kedua pihak sudah seimbang.

“Sampai saat ini, perusahaan seperti Visa dan Mastercard masih dominan di Indonesia. Jadi tidak ada perlakuan diskriminatif,” ujarnya.

Senada, Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Santoso Liem menjelaskan bahwa QRIS dan GPN muncul karena kebutuhan nasional, khususnya mendukung UMKM dalam situasi keterbatasan infrastruktur pembayaran digital.

“Pada 2019, mesin EDC masih sangat terbatas. QRIS adalah solusi murah, praktis, dan cepat yang bisa langsung digunakan UMKM bahkan hanya dengan stiker,” tutur Santoso.

Biaya Transaksi Jadi Pembeda

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai salah satu penyebab QRIS tak diminati pemain asing adalah skema biaya yang rendah. Untuk transaksi di bawah Rp 500 ribu, QRIS tidak membebankan biaya sama sekali. Bandingkan dengan skema fee 1,8%–2% yang berlaku di sistem Visa dan Mastercard.

“QRIS justru membuka akses bagi UMKM yang sebelumnya tak terlayani. Kalau perusahaan asing mau ikut, tinggal daftar ke BI. Sistemnya terbuka,” katanya.

Menurutnya, tudingan AS cenderung politis dan tak relevan dengan realita di lapangan. Pemerintah dinilai harus tetap bersikap tegas demi menjaga kedaulatan digital dan kepentingan ekonomi nasional.

QRIS dan GPN Simbol Kemandirian Sistem Pembayaran

Peneliti dari Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Anwar, menekankan pentingnya menjaga eksistensi QRIS dan GPN sebagai pilar kemandirian sistem pembayaran Indonesia.

“Sebelum GPN, sebagian besar transaksi kartu debit diolah lewat jaringan luar negeri. Ini menguras biaya dan menyisakan celah penguasaan data transaksi oleh asing. QRIS dan GPN hadir untuk menutup celah itu,” jelas Anwar.

Dia menegaskan bahwa kendali atas sistem pembayaran domestik adalah elemen strategis, bukan semata urusan teknis. Karena itu, segala penyesuaian regulasi harus tunduk pada prinsip kepentingan nasional.

Kepentingan Nasional Tidak untuk Dinegosiasikan

Menanggapi desakan AS, para analis sepakat bahwa pemerintah Indonesia harus tetap pada jalurnya dalam menjaga kedaulatan sistem pembayaran.

Penyesuaian teknis dapat dipertimbangkan, tetapi prinsip kemandirian dan keberpihakan pada ekonomi rakyat tidak boleh dikompromikan.

“QRIS bukan sekadar alat bayar. Ini simbol revolusi digital yang mengangkat ekonomi bawah. Kalau kita goyah karena tekanan asing, kita mundur ke belakang,” pungkas Wijayanto.

Bank Indonesia pun menegaskan bahwa pengembangan QRIS ke depan akan tetap dilanjutkan dengan fokus pada interoperabilitas, efisiensi biaya, serta perlindungan konsumen. Inisiatif ini akan terus diperkuat agar Indonesia mampu bersaing di panggung ekonomi digital global dengan sistem pembayaran yang berdaulat dan inklusif.

Ikuti media sosial kami untuk update terbaru