JAKARTA, NusantaraOfficial.com – Di tengah polemik menurunnya penerimaan pajak dan isu Core Tax Administration System (Coretax), Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo, mendapat kepercayaan baru sebagai Komisaris Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN). Pengangkatan ini diumumkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BTN pada 26 Maret 2025. Namun, keputusan tersebut memicu perdebatan luas, terutama terkait konflik kepentingan dan etika pemerintahan.
Penurunan Penerimaan Pajak dan Isu Coretax
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa hingga Februari 2025, penerimaan pajak mencapai Rp 187,8 triliun, atau hanya 8,6% dari target APBN 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun. Realisasi ini mengalami penurunan signifikan sebesar 30,19% dibandingkan periode yang sama pada 2024 yang mencapai Rp 269,02 triliun.
Tekanan fiskal semakin meningkat akibat penerimaan negara yang merosot 20% hingga Februari 2025, berkontribusi terhadap defisit APBN sebesar Rp 31,2 triliun. Beberapa pihak menuding bahwa sistem Coretax yang diperkenalkan sebagai upaya digitalisasi perpajakan justru menjadi faktor penyebab menurunnya kinerja penerimaan pajak.
Kontroversi Rangkap Jabatan Dirjen Pajak
Pengangkatan Suryo Utomo sebagai Komisaris Utama BTN di tengah kondisi ini mengundang kritik tajam. Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa rangkap jabatan ini bukan hanya persoalan etik, tetapi juga sistemik dan berdampak luas pada kredibilitas sistem perpajakan.
“Seorang Dirjen Pajak seharusnya bersikap netral dan adil dalam pengawasan serta penindakan pajak. Namun, bagaimana mungkin ia bisa bertindak objektif jika di saat yang sama menerima gaji dan fasilitas sebagai Komisaris Utama BTN?” ujar Rinto dalam keterangannya pada 27 Maret 2025.
Menurut Rinto, keputusan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan struktural, mengingat BTN merupakan BUMN yang juga tunduk pada regulasi perpajakan. Hal ini berpotensi melemahkan independensi kebijakan pajak dan menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat serta pelaku usaha.
Dampak Terhadap Keadilan Pajak
IWPI menyoroti bahwa rangkap jabatan ini mencederai prinsip keadilan pajak. Wajib pajak lainnya tidak memiliki akses yang sama untuk mengatur kebijakan perpajakan dari dalam. Hal ini berisiko menimbulkan persepsi ketidakadilan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha.
“Banyak wajib pajak yang harus menghadapi pemeriksaan ketat, denda, hingga sanksi hukum karena kesalahan administrasi. Namun, seorang pejabat yang seharusnya menjadi simbol ketegasan justru berada dalam posisi yang sarat konflik kepentingan,” lanjut Rinto.
Selain itu, praktik ini berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan, yang pada akhirnya dapat berimbas pada kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban mereka.
Indikasi Pelanggaran Hukum
IWPI juga menyoroti berbagai regulasi yang berpotensi dilanggar akibat rangkap jabatan ini, antara lain:
- UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang melarang ASN merangkap jabatan sebagai komisaris perusahaan.
- UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang mewajibkan ASN bebas dari konflik kepentingan.
- UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan larangan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
- UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang mengatur bahwa komisaris harus bertindak independen.
- Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019, yang memperjelas larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara.
Dengan berbagai pelanggaran potensial ini, IWPI mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mencabut jabatan Komisaris Utama BTN dari Suryo Utomo demi menjaga integritas sistem perpajakan nasional. IWPI juga merekomendasikan audit menyeluruh terhadap kebijakan perpajakan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik di masa mendatang.
Keputusan ini menjadi ujian bagi pemerintahan saat ini dalam menegakkan prinsip tata kelola yang bersih dan transparan, terutama dalam sektor perpajakan yang merupakan tulang punggung penerimaan negara.
Ikuti media sosial kami untuk update terbaru