JAKARTA, NusantaraOfficial.com – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengeluarkan peringatan terbaru terkait meningkatnya risiko krisis utang di negara-negara berkembang.
Dalam laporan bertajuk OECD Global Report 2025: Financing Growth in a Challenging Debt Market Environment, OECD menyoroti bahwa banyak negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di bawah US$ 300 miliar menghadapi risiko gagal bayar yang tinggi. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga perlu mencermati tren peningkatan utang yang terus berlanjut.
Negara Berkembang dalam Tekanan Utang Global
OECD mengungkapkan bahwa dari hampir 100 negara berkembang dan pasar ekonomi berkembang (Emerging Market and Developing Economies – EMDEs) yang memiliki obligasi berdaulat serta peringkat kredit dari tiga lembaga pemeringkat utama, sebanyak 73 negara memiliki PDB di bawah US$ 300 miliar.
Sebagian besar dari mereka menghadapi risiko gagal bayar akibat kurangnya akses terhadap pasar obligasi dalam mata uang lokal.
Sejak dimulainya siklus pengetatan kebijakan moneter global pada 2022, negara-negara dengan pasar obligasi domestik yang lemah mengalami tekanan besar dalam pembayaran utang. Indonesia pernah mengalami hal serupa di akhir 1990-an saat krisis ekonomi, namun kini memiliki pasar obligasi mata uang lokal yang lebih kuat. OECD menilai strategi ini cukup efektif dalam mengurangi risiko gagal bayar seperti yang pernah dialami negara lain di era sebelumnya.
Utang Indonesia Meningkat, Apa Dampaknya?
Menurut data terbaru Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang pemerintah pusat Indonesia per 31 Januari 2025 mencapai Rp 8.909,14 triliun. Angka ini meningkat 1,21% dibandingkan posisi Desember 2024 yang mencapai Rp 8.801,09 triliun.
Dari jumlah tersebut, rasio utang terhadap PDB pada Januari 2025 tercatat sebesar 39,6%, sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 39,7%. Pemerintah menegaskan bahwa strategi pengelolaan utang yang diterapkan masih dalam batas aman dan terkendali.
Suminto, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, menjelaskan bahwa pemerintah menerapkan dua strategi utama untuk menjaga rasio utang tetap dalam target yang ditetapkan.
1. Pengendalian Utang dengan Manajemen Fiskal yang Ketat
Pemerintah berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan fiskal melalui langkah-langkah berikut:
- Meningkatkan penerimaan negara melalui optimalisasi pajak dan reformasi fiskal.
- Mengalokasikan belanja yang berkualitas dengan fokus pada program produktif seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pendidikan, dan ketahanan pangan.
- Mengembangkan pembiayaan yang berkelanjutan melalui strategi diversifikasi sumber pendanaan.
2. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Selain pengendalian utang, pemerintah juga berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar rasio utang terhadap PDB tetap terkendali. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, rasio utang diharapkan dapat menurun secara alami.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah menetapkan target rasio utang sebesar 39,15% terhadap PDB pada 2025, dan dalam kisaran 39,01%-39,10% pada 2029.
Indonesia dalam Lanskap Utang Global
Meskipun utang Indonesia mengalami kenaikan, negara ini relatif lebih stabil dibandingkan beberapa negara berkembang lainnya yang berada dalam kategori risiko gagal bayar tinggi. Faktor utama yang membuat Indonesia lebih resilient adalah:
- Penguatan pasar obligasi dalam negeri, yang memungkinkan pemerintah menerbitkan surat utang dalam mata uang rupiah dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
- Struktur ekonomi yang lebih stabil dibandingkan negara-negara berkembang dengan ketergantungan besar pada utang eksternal.
Namun, tantangan tetap ada. Pemerintah perlu terus memastikan bahwa utang digunakan untuk proyek-proyek produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar untuk pembiayaan belanja rutin.
Dengan semakin kompleksnya dinamika ekonomi global, Indonesia harus terus mewaspadai risiko eksternal, terutama dampak dari kebijakan suku bunga bank sentral global yang dapat mempengaruhi likuiditas dan arus modal ke negara berkembang. Pemerintah dituntut untuk menjaga keseimbangan antara pengelolaan utang yang sehat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ikuti media sosial kami untuk update terbaru