JAKARTA, NusantaraOfficial.com – Bank Indonesia (BI) mengambil langkah strategis dalam merespons kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia. Penerapan tarif sebesar 32% oleh pemerintah AS memicu dinamika pasar keuangan global dan domestik, yang menjadi perhatian utama otoritas moneter nasional.
BI Jaga Stabilitas Rupiah Melalui Triple Intervention
Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa pasar keuangan global bergerak dinamis setelah pengumuman kebijakan tarif tersebut. Pasar saham global mengalami tekanan, sementara imbal hasil US Treasury jatuh ke level terendah sejak Oktober 2024.
Baca Juga: Rupiah Terpuruk ke Rp16.611 per Dolar AS, Tertinggi Sejak 1998
Intervensi BI di Tiga Sektor Pasar
BI menegaskan komitmennya untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah melalui serangkaian instrumen yang dikenal sebagai triple intervention, yaitu:
- Intervensi di pasar spot valuta asing,
- Transaksi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF),
- Intervensi di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Langkah ini diambil untuk menjaga ekspektasi pelaku pasar terhadap kondisi ekonomi Indonesia di tengah gejolak global. BI juga terus memantau aliran modal masuk dan keluar dari pasar domestik secara ketat.
Baca Juga: BI dan OJK Perkuat Sinergi untuk Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
Kurs Rupiah Terpantau Melemah
Mengacu pada data Bloomberg per Kamis (3/4/2025), nilai tukar rupiah tercatat sebesar Rp16.652 per dolar AS. BI menegaskan akan terus melakukan langkah stabilisasi guna memastikan likuiditas valas tetap mencukupi bagi kebutuhan perbankan dan dunia usaha.
“BI tetap berkomitmen untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, terutama melalui optimalisasi instrumen triple intervention,” ujar Ramdan dalam keterangan resmi pada Sabtu (5/4/2025). Menurutnya, keyakinan pelaku pasar harus tetap dijaga di tengah ketidakpastian eksternal.
Tarif Balasan AS Jadi Pemicu Volatilitas
Kebijakan tarif resiprokal ini merupakan bagian dari langkah Presiden AS Donald Trump yang menetapkan tarif dasar 10% atas seluruh impor ke AS. Beberapa negara mitra dagang dikenai tarif lebih tinggi, termasuk:
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Langkah Strategis Hadapi Tarif Resiprokal AS
- China: 34%
- Uni Eropa: 20%
- Indonesia: 32%
- Vietnam: 46% (tertinggi)
Besarnya tarif ini menimbulkan kekhawatiran baru di pasar, karena dapat menghambat ekspor Indonesia ke AS secara signifikan dan menekan neraca perdagangan nasional.
Risiko Pelemahan Rupiah ke Rp17.000/USD
Dalam situasi ini, tekanan terhadap rupiah semakin nyata. Berdasarkan analisis dari Guru Besar IPB, Didin S. Damanhuri, depresiasi rupiah ke level Rp17.000 per dolar AS bisa saja terjadi dalam waktu dekat.
“Dampak yang segera adalah akan terjadi depresiasi rupiah yang saat ini sudah Rp16.700 per dolar AS dan tidak mustahil dalam beberapa hari ke depan akan melampaui Rp17.000 per dolar AS,” ungkap Didin.
Baca Juga: Pemerintah Mulai Susun RAPBN 2026, Airlangga & Sri Mulyani Temui Prabowo
Menurutnya, pelemahan rupiah akan menimbulkan gelombang rasionalisasi dari dunia usaha, termasuk kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibat lanjutan yang diwaspadai adalah:
- Penurunan kegiatan sektor UMKM
- Pelemahan daya beli masyarakat secara lebih masif
- Potensi meningkatnya angka pengangguran nasional
“Daya beli masyarakat akan menurun secara lebih masif lagi yang kini pun sudah terjadi pelemahan daya beli masyarakat,” tutup Didin dalam pernyataannya.
Baca Juga: Pemerintah Percepat Inklusi Keuangan, Target 93% pada 2029
Ikuti media sosial kami untuk update terbaru